Sinamot Boru Batak

Sinamot Boru Batak

Boru Batak Bukan Barang Jualan.

(Sebuah cerita siang di warung kopi) 

Teringat cerita tadi siang, bersantai di warung kopi bersama teman-teman berbicara banyak hal. Mulai dari bisnis, pekerjaan, masa lalu, hingga pada suatu topik yang cukup menarik yang sering dibicarakan di kalangan orang batak terutama para pemuda maupun pemudi yang belum menikah / yang hendak menikah.

Sinamot atau tuhor ni boru. Sekilas, kata ini cukup sederhana hanya berupa 1 kata tapi mengandung banyak arti. Dari sebuah kata ini pun banyak problem/masalah yang timbul bahkan konflik tak berujung. Hehe..

Cerita di warung kopi tadi cukup seru, bagaimana seorang teman yang pernah punya masa lalu sulit dan terjepit, tak punya apa-apa tapi dapat menikahi seorang boru batak yang dimana pekerjaannya cukup prestise yaitu salah satu staff dengan jabatan penting di suatu Bank negara.

Begitu bangganya teman itu bercerita bahwa Ia dapat mengalahkan para saingannya, sebut saja ada yang bekerja dari cevron, rapp, dan perusahaan-perusahaan terkenal lainnya, dan dapat menikahi istrinya saat ini hanya dengan sinamot 10jt saja... padahal waktu itu dia bukan siapa-siapa dibanding para saingannya itu.

Hellooowwww....??? sinamot 10jt???? Wah, kalau saat ini pasti banyak yang nyinyir atau mungkin mikir, kok bisa ya 10jt?? Murah amat??!! Gimana tu pestanya? Adatnya gimana? Baju pengantin, sewa gedung, Dan pertanyaan lain-lain pastinya.

Cerita tadi siang pun menjalar sampai topik gagal menikah karena sinamot. Ada salah satu Bapak-bapak yang biasa saya panggil Tulang (karena marganya sama dengan nenek / ibu dari mama saya) bercerita, ada kejadian demi menikahi seorang boru, sang lelaki harus memenuhi syarat pernikahan yaitu dengan sinamot 80jt.

Kami yang mendengar cerita disana pun bingung?? Apalagi calon pengantin pria baru saja memulai karirnya di suatu pekerjaan dengan gaji/penghasilan yang masih pas-pasan.

 Akhirnya, dengan gaya mirip analisator pasar keuangan, kami mulai mengkaji alasan demi alasan yang logika mulai dari tiket pesawat, tiket hotel, rental mobil, kendaraan para tamu, dll. dan, perkiraan hasilnya adalah sekitar 40jt-50jtan saja. Dari kesimpulan sementara, kami berpikir...hmmmm.... silahkan pikirkan sendiri jawabannya.. hehehe...

Inilah problem dan hambatan generasi millenial jaman sekarang.. ya.. Logika bermain karena sering disuguhi visualisasi kekayaan material, media sosial penuh dengan banyak lelaki pilihan, serta didukung pola pikir orang tua yang tidak ingin anaknya susah seperti mereka dulu waktu memulai rumah tangga.

Jrenggg....... Jadilah yang banyak terjadi sekarang! Boru – boru uda umur 35 tahun lebih belum menikah, belum punya pasangan, gagal menikah karena calon pasangannya tidak selevel atau madesu (masa depan suram), dan alasan klasik lainnya.

Tahukah kita?? Jika tidak salah menurut pakar kesehatan, umur terbaik wanita untuk mempunyai keturunan dengan tingkat kecerdasan terbaik adalah di kisaran umur 23-28 tahun. Sebab seorang wanita mengalami masa subur dengan produksi hormon terbaik di rentang umur segitu.

Nah, resiko tinggi keguguran maupun mandul bahkan kematian, lebih banyak berada pada rentang umur 32 tahun ke atas. Maka dari itu, saya sering bertanya apa alasan para wanita batak untuk mempertahankan gengsi dan lebih suka menanggung resiko tersebut???

Padahal kita tahu, kelahiran anak adalah sesuatu yang sangat diharapkan di keluarga batak. Apabila resiko itu terjadi, apa artinya sebuah sinamot yang mahal beserta gelar boru ni raja itu?

Di hadapan adat, sinamot sepertinya menjadi tolak ukur nilai harga diri orang tua terhadap pernikahan anaknya, sehingga jika sinamot kurang, penolakan kerap terjadi seperti transaksi tawar menawar perdagangan di pasar.

Kembali ke cerita tadi siang, ada teman seorang pendeta yang turut hadir disana menimpali apakah lebih penting hal duniawi daripada firman Tuhan? Pendeta itu berkomentar, yang paling utama dari suatu rencana pernikahan adalah kesatuan prinsip. Apabila prinsipnya sudah sama, saling mengasihi, saling mencintai, maka yang lainnya tidak masalah.

Untuk apa memperhatikan kata-kata orang, Selera orang pada kita, serta logika kita terhadap masa depan kita? Jika Tuhan berkehendak apapun jadi. Jika Tuhan sudah menentukan jodohnya anak/boru kita, siapa yang dapat melawan? Tuhan tahu yang terbaik.

Bagaimana pun miskinnya lelaki saat ini, jika Tuhan berkehendak menjadikan kaya, siapa yang dapat mencegah? Pendeta itu pun berpendapat demikian sebab dia juga sudah mengalami kepahitan hidup dan Tuhan mengubahkan hidupnya menjadi lebih dari cukup saat ini. Semua pendapatnya adalah bukti nyata pengalaman hidupnya.

Ditambahkan sama pendeta itu juga, jika uang adalah ukuran dari orang tua untuk melepaskan anaknya menikah, berarti sebagai orang tua tidak ikhlas memberi kepada anaknya. Masih ada keinginan menuntut akan pengorbanannya selama ini. Itu kata beliau.
Teman saya yang pertama tadi pun ikut menambahkan.

Lebih baik uang yang dipakai buat sinamot, untuk membuat usaha / membeli rumah yang layak.
Kalau tempat tinggal boru batak layak, tidak ngekos, tidak ngontrak, makan cukup, tidak sampai lelah membayar berhutang sana – sini setelah pesta, itulah persembahan terbaik untuk orang tuanya. Daripada berhutang sana sini untuk pesta, tapi habis tu ngontrak, habis tu makan pun sulit, habis tu gali lubang tutup lubang bayar hutang pesta.

Saya yang dari tadi hanya diam mendengarkan cerita mereka para senior saya itu, berpikir serupa, tapi hanya dalam hati saja.

Saya hanya berpikir, apa sih yang kita harapkan dari suatu pernikahan? Pastinya kehidupan yang berkecukupan, meskipun tidak kaya.

Tapi dari pengalaman saya pribadi, kehidupan itu tidak selalu seperti apa yang kita bayangkan dan pikirkan. Tuhan punya jalannya sendiri.

Terkadang kejatuhan adalah cara Tuhan sedang menaikkan kelas kehidupan kita.

Terkadang kemapanan yang ada saat ini, suatu saat akan diuji dengan sebuah kehancuran yang bertubi – tubi sebagai ujian keimanan kita.
Terkadang, kemapanan yang ada saat ini pun bisa berlalu tak berbekas jika saatnya tiba dan berganti dengan ketidakpunyaan apa-apa.

Tidak ada yang pasti di dunia ini.

Dari mereka saya belajar, jika kelak sebagai orang tua nanti, sayalah yang harus belajar mengerti perubahan kehidupan ini. Saya juga harus belajar bahwa tidak boleh takut akan masa depan dan mengandalkan apa yang saya punya saat ini.

Saya juga harus belajar, tidak boleh memutuskan tanpa campur tangan hikmat Tuhan, apalagi menghakimi orang lain. Siapa tahu yang datang kelak terlihat sederhana tapi itulah sebenarnya solusi yang Tuhan kehendaki.

Dari sana saya belajar, jika saya sebagai orang tua nanti, kebahagiaan rumah tangga anaklah yang terpenting dan saya harus belajar MEMPERCAYAI keputusan anak-anak saya karena mereka sudah bisa belajar memilih sesuai pertimbangan mereka secara dewasa.

Dari sana saya belajar, saya tidak baik menjadi tembok bagi kehidupan rumah tangga mereka, melainkan harus menjadi pintu yang membuka lebar kesempatan mereka untuk berbahagia.

Dari sana saya belajar, boru saya kelak (jika punya boru) bukanlah barang jualan yang punya harga. Boru saya punya nilai, bukan harga. Sebab nilai tidak bisa diukur, tapi harga punya angka.

Harga rendah tidak bisa mengukur nilai sesuatu hal.
Sebab kebahagiaan itu bukan sebuah harga, namun kebahagiaan adalah sebuah nilai yang tidak bisa dibeli dengan harga apapun.

Puji Tuhan,
Terberkatilah kiranya orang-orang yang membaca cerita ini.
Baik yang suka maupun tidak suka cerita ini.

Amin.

NB: Buat para jomblo/pasangan yang sedang ragu mau menikah yang membaca cerita ini, tetap semangat!
maju tak gentar membela yang bayar! eh salah..
maju tak gentar untuk melamar!!








Komentar